"Heboh"
ya selalu ada beberapa oknum BPS yang heboh bila ada berita terkait BPS yang
beredar di media online seperti yang satu ini :
Berita tersebut diterbitkan oleh
"detik.com" pada tanggal 26 April 2016, berita diberi judul
"Jokowi: Mulai Sekarang, Urusan Data Pegangannya Hanya BPS".
Mengetahui bahwa pemerintah khususnya
Presiden Jokowi sendiri yang menyampaikan informasi tersebut tentu sontak
membuat insan pegawai BPS seluruh Indonesia Raya merasa senang. Wajar bila
merasa senang menurut saya, karena nama Instansinya mendapat kepercayaan dan
pengakuan dari Pemerintah secara langsung dari Pimpinan Pemerintahan yaitu
Presiden RI, Joko Widodo.
Pada berita tersebut jelas disampaikan
oleh bapak Presiden kalimat seperti ini,
""Ini
yang mulai sekarang saya tidak mau lagi. Urusan data, pegangannya hanya satu
sekarang di BPS,"
"Peran krusial dari BPS, data
yang akurat akan lahir kebijakan yang baik, karena datanya detil dan
akurat,"
Satu data sekarang yang kita pakai
BPS. Tapi kalau tidak bener juga hati-hati, hati-hati. Saya akan kroscek, entah
cara ambil sampel, entah pencarian data lapangannya tidak serius,"
Dari pernyataan Presiden tersebut
dapat dipahami bahwa Presiden mempercayakan BPS sebagai "lumbung
data", dan tidak ada lagi yang dapat menjadi sumber data bagi pemerintah
dalam membuat kebijakan berdasarkan data yang diperoleh dari instansi atau
lembagai lain selain BPS
BPS menjadi landasa bagi Decision
Maker dalam melakukan pertimbangan dan analisis dalam pembuatan
kebijakan.
BPS dipercaya dan dapa dikatakan
sebagai "anak emas" dalam pemerintahan sebagai pemberi data bagi
pemerintah namun tidak boleh terlena akan status "anak emas"nya
dengan melupakan kualitas data.
sekarang saya coba menanggapi (negara
kita demokrasi), saya umpamakan dengan diri saya sendiri. Saya pernah
membuat sebuah karya ilmiah dan kebetulan karya ilmiah tersebut menggunakan
data primer. Singkat cerita yang saya alami dalam penyusunan karya ilmiah
tersebut tidaklah mudah. Saya mencoba menyinggung dari segi finansial. Ternyata
dalam penyusunan karya ilmiah yang menggunakan data primer tidak hanya energi
dan waktu saja yang terkuras, namun isi dompet saya juga menjadi
"mengempes".
Dari pengalaman tersebut saya semakin
memahami bahwa data itu "mahal" harganya dan untuk data yang
berkualitas tidak berlebihan bila memang dikatakan sangat "mahal"
harganya. Terkait dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi, beliau
ingin memperoleh data yang berkualitas dari BPS dan terkesan
"menuntut" bahwa BPS harus mampu memberikan data yang berkualitas.
Nah, kembali ke contoh kasus/pengalaman tadi, finansial merupakan sumber
penting dalam pengumpulan data. Pemerintah ingin data berkualitas namun
anggaran untuk memperoleh data berkualitas "dikebiri" dengan alasan
penghematan anggaran. Terkesan seperti "lo mau barang bagus tapi ga mau
keluarin modal, kalo mau barang berkualitas tentu harus ada harga". Sebagai
orang BPS saya agak jengkel juga dengan kebijakan yang telah dilakukan oleh
Pemerintah kepada BPS.
Tapi itulah pemerintah, tidak gampang
tentunya untuk menjalankan suatu pemerintahan, keputusan yang diambil tentu
sudah menjadi pertimbangan. Menanggapi pemotongan anggaran yang terjadi pada
BPS saya salut dengan tanggapan oleh kepala BPS RI bahwa pemotongan anggaran
tidak akan mempengaruhi kualitas data Sensus Ekonomi.
Tanggapan yang diberikan oleh Kepala
BPS tentunya juga harus dijiwai oleh semua insan BPS, agar BPS dapat
membuktikan bahwa BPS merupakan lembaga yang kredibel, semoga pemotongan
anggaran bukan menjadi batu sandungan namun menjadi pemacu bagi BPS untuk
membuktikan diri bahwa BPS lembaga berkualitas yang mengeluarkan data yang
berkualitas. Bila output dari BPS berkualitas ditambah lagi dengan pernyataan
Jokowi bahwa BPS "The one and only" dalam hal penyediaan
data, mungkin suatu hari nanti Pemerintah lebih royal dalam hal anggaran dengan
BPS.
Semangat Coy!
No comments:
Post a Comment