Wednesday, April 27, 2016

HEBOH

"Heboh" ya selalu ada beberapa oknum BPS yang heboh bila ada berita terkait BPS yang beredar di media online seperti yang satu ini :
Berita tersebut diterbitkan oleh "detik.com" pada tanggal 26 April 2016, berita diberi judul "Jokowi: Mulai Sekarang, Urusan Data Pegangannya Hanya BPS".

Mengetahui bahwa pemerintah khususnya Presiden Jokowi sendiri yang menyampaikan informasi tersebut tentu sontak membuat insan pegawai BPS seluruh Indonesia Raya merasa senang. Wajar bila merasa senang menurut saya, karena nama Instansinya mendapat kepercayaan dan pengakuan dari Pemerintah secara langsung dari Pimpinan Pemerintahan yaitu Presiden RI, Joko Widodo.

Pada berita tersebut jelas disampaikan oleh bapak Presiden kalimat seperti ini, 
""Ini yang mulai sekarang saya tidak mau lagi. Urusan data, pegangannya hanya satu sekarang di BPS,"
"Peran krusial dari BPS, data yang akurat akan lahir kebijakan yang baik, karena datanya detil dan akurat," 
Satu data sekarang yang kita pakai BPS. Tapi kalau tidak bener juga hati-hati, hati-hati. Saya akan kroscek, entah cara ambil sampel, entah pencarian data lapangannya tidak serius,"

Dari pernyataan Presiden tersebut dapat dipahami bahwa Presiden mempercayakan BPS sebagai "lumbung data", dan tidak ada lagi yang dapat menjadi sumber data bagi pemerintah dalam membuat kebijakan berdasarkan data yang diperoleh dari instansi atau lembagai lain selain BPS
BPS menjadi landasa bagi Decision Maker dalam melakukan pertimbangan dan analisis dalam pembuatan kebijakan.
BPS dipercaya dan dapa dikatakan sebagai "anak emas" dalam pemerintahan sebagai pemberi data bagi pemerintah namun tidak boleh terlena akan status "anak emas"nya dengan melupakan kualitas data.

sekarang saya coba menanggapi (negara kita demokrasi), saya umpamakan dengan diri saya sendiri. Saya pernah membuat sebuah karya ilmiah dan kebetulan karya ilmiah tersebut menggunakan data primer. Singkat cerita yang saya alami dalam penyusunan karya ilmiah tersebut tidaklah mudah. Saya mencoba menyinggung dari segi finansial. Ternyata dalam penyusunan karya ilmiah yang menggunakan data primer tidak hanya energi dan waktu saja yang terkuras, namun isi dompet saya juga menjadi "mengempes". 

Dari pengalaman tersebut saya semakin memahami bahwa data itu "mahal" harganya dan untuk data yang berkualitas tidak berlebihan bila memang dikatakan sangat "mahal" harganya. Terkait dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi, beliau ingin memperoleh data yang berkualitas dari BPS dan terkesan "menuntut" bahwa BPS harus mampu memberikan data yang berkualitas. Nah, kembali ke contoh kasus/pengalaman tadi, finansial merupakan sumber penting dalam pengumpulan data. Pemerintah ingin data berkualitas namun anggaran untuk memperoleh data berkualitas "dikebiri" dengan alasan penghematan anggaran. Terkesan seperti "lo mau barang bagus tapi ga mau keluarin modal, kalo mau barang berkualitas tentu harus ada harga". Sebagai orang BPS saya agak jengkel juga dengan kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah kepada BPS.

Tapi itulah pemerintah, tidak gampang tentunya untuk menjalankan suatu pemerintahan, keputusan yang diambil tentu sudah menjadi pertimbangan. Menanggapi pemotongan anggaran yang terjadi pada BPS saya salut dengan tanggapan oleh kepala BPS RI bahwa pemotongan anggaran tidak akan mempengaruhi kualitas data Sensus Ekonomi. 

Tanggapan yang diberikan oleh Kepala BPS tentunya juga harus dijiwai oleh semua insan BPS, agar BPS dapat membuktikan bahwa BPS merupakan lembaga yang kredibel, semoga pemotongan anggaran bukan menjadi batu sandungan namun menjadi pemacu bagi BPS untuk membuktikan diri bahwa BPS lembaga berkualitas yang mengeluarkan data yang berkualitas. Bila output dari BPS berkualitas ditambah lagi dengan pernyataan Jokowi bahwa  BPS "The one and only" dalam hal penyediaan data, mungkin suatu hari nanti Pemerintah lebih royal dalam hal anggaran dengan BPS. 

Semangat Coy!